Hanya terpisah oleh sebuah sungai dengan Taman Fatahillah, Toko Merah dan Jembatan Kota Intan yang juga termasuk dalam daftar wisata kawasan Kota Tua sepertinya hanyut terbawa arus Kali Besar, tenggelam begitu saja. Meski memiliki kesan “lama” dan “antik” yang sama identiknya, kedua spot ini tidak seberuntung tempat-tempat wisata Kota Tua yang lain. Terbukti dengan sepinya pengunjung. Bahkan keberadaannya bisa dibilang terasingkan, tidak banyak yang tahu.
Redup pesona kedua tempat yang berada di satu jalan yang sama ini, yaitu Jalan Kali Besar, justru menarik sehingga tim JakartaYuk mencoba mengeksplor masing-masingnya, dimulai dari Toko Merah, yang terletak berseberangan dengan Halte Bus TransJakarta Kali Besar Barat.
Toko Merah dengan dinding depan berwarna merah terlihat sangat mencolok diantara gedung-gedung tua yang mengapitnya sehingga sebenarnya mudah dikenali bahkan dari jarak jauh sekalipun. Tulisan “Toko Merah” yang cukup besar jelas terpampang didepan, memperkuat identitasnya.
Namun, suasana sepi lengang jalan sekitarnya dan karena tidak tampak aktivitas pengunjung di gedung itu sendiri membuat banyak orang ragu untuk berkunjung. Satu-satunya yang mengkonfirmasi gedung bernomor 11 ini sebagai tempat wisata hanyalah tulisan kecil di bagian bawah depan gedung dekat pintu masuk, sebuah keterangan status cagar budaya.
Status cagar budaya itupun belum cukup meyakinkan. Akhirnya tim JakartaYuk bertanya pada seorang bapak yang kebetulan keluar dari Toko Merah.
“Maaf pak, kalau boleh kami tahu, apakah gedung ini tempat wisata yang terbuka untuk umum?”
Bapak tersebut menjawab dengan sumringah,
“Oh, iya, benar sekali! Silakan, silakan masuk saja langsung ke meja depan itu, ya.”
Pintu masuk dari luar mengarahkan pengunjung ke ruang depan yang cukup luas. Terdapat sebuah meja besar sebagai loket pembelian tiket.
Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp10.000,-, petugas memberi brosur yang berisi informasi seputar Toko Merah, lalu mengantar ke pintu masuk yang sebenarnya, menemani berkeliling. Ukuran bangunan Toko Merah yang ternyata sangat luas dengan banyak sekali ruangan serta pintu-pintu yang mirip satu sama lainnya dapat membingungkan sehingga memerlukan pemandu.
Pertama kali mengamati bangunan ini, kesan yang muncul adalah tentang pecinaan Indonesia. Ukiran di pintu masuk, lampu-lampu lentera yang bergantungan di langit-langit ruangan utama, semuanya berwarna merah dan kuning serta terdapat simbol-simbol khas Tionghoa. Namun ternyata, berdasarkan penjelasan pemandu, gedung ini pertama kali dibangun pada tahun 1730 justru oleh seorang Belanda, Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang menjabat sebagai gubernur Batavia, untuk rumah tinggal.
Fakta lain yang cukup menarik dari Toko Merah bahwa keseluruhan bangunan ini sebenarnya merupakan dua rumah kembar yang beratap satu, sehingga memiliki dua pintu masuk serta sekat tebal tepat ditengah-tengahnya. Lagipula, dengan luas 2.455 m2 dan jumlah ruangan mencapai kurang lebih 25 buah tersebar di tiga lantai, gedung ini agak berlebihan apabila disebut sebuah rumah.
Sejarah Toko Merah dari waktu ke waktu pun seperti piala bergilir, cukup sering beralih fungsi dan berpindah kepemilikan hingga akhirnya menjadi bangunan kosong berstatus cagar budaya. Bangunan ini pernah menjadi kampus dan asrama Academie de Marine (Akademi Angkatan Laut), hotel para pejabat, toko dagang, kantor Borneo Compagnie, kantor Behn Meiwe & Co, Bank Voor Indie, Gedung Dinas Kesehatan Tentara Jepang, serta beberapa kali dikelola oleh perusahaan-perusahaan seperti P.T Yudha Bakti. Perjalanan panjang dan melelahkan yang telah dilalui oleh Toko Merah tidak menjadikannya lapuk dan rusak, melainkan tetap kokoh hingga saat ini, bahkan pernah menjadi rumah termewah yang berlokasi di dalam kota pada abad ke 18.
Kemewahan Toko Merah kini hanya bisa dinikmati pada arsitektur bangunan dan ketahanan akan usia, karena kondisinya sendiri hampir kosong total. Hanya ruang utama di lantai dasar yang diisi perabot berupa beberapa kursi dan meja kayu, lampu-lampu serta lukisan.
Nasibnya pun kini berubah menjadi tempat wisata yang sepi pengunjung lalu disewakan untuk berbagai acara, yaitu sering dipakai untuk tempat resepsi pernikahan, tempat pemotretan dan lokasi shooting film, serta pertemuan atau rapat. Untuk tujuan wisata, Toko Merah dapat dikunjungi dari pukul 09.00 hingga pukul 16.30 WIB.
Dari Toko Merah, cukup berjalan lurus sambil melirik ke kanan arah Kali Besar, maka akan ditemui Jembatan Kota Intan yang sangat unik dan mudah dikenali.
Berbeda dengan Toko Merah yang agak “tertutup”, Jembatan Kota Intan yang dipagari dengan pagar besi berpintu tampak seperti taman karena terdapat beberapa pohon peneduh dan bangku-bangku panjang. Jembatan Kota Intan tidak lagi berfungsi sebagai tempat penyeberangan lalu lintas.
Informasi tentang jembatan sepanjang 30 meter dengan lebar 4,43 meter ini dapat ditemui di papan informasi yang berada di kiri dan kanan jembatan. Jembatan peninggalan Belanda yang dibangun sekitar tahun 1628 ini awalnya bernama Engelse Brug (Jembatan Inggris), pernah pula menggunakan nama salah satu ratu Belanda menjadi Jembatan Phalsbrug Juliana serta juga dikenal dengan nama Jembatan Pasar Ayam. Saat masih berfungsi, jembatan ini adalah satu-satunya jembatan “angkat”, yaitu yang bisa ditarik ke atas ketika ada kapal yang berlayar dibawahnya.
Sayangnya, kondisi sungai Kali Besar yang mengalir dibawah jembatan ini sangat keruh dan kotor, sama sekali bukan pemandangan yang bagus. Oleh karena itu, waktu berkunjung terbaik ke tempat ini adalah saat malam, ketika keruhnya sungai sudah tidak terlihat, diganti pesona sorotan cahaya yang berasal dari penerangan jembatan, sangat mengagumkan.
Akses masuk yang mudah dan tanpa biaya apapun, membuat tempat ini cukup menjadi favorit warga sekitar untuk bersantai di siang atau sore hari, sambil menikmati pemandangan jembatan. Namun Jembatan Kota Intan sepertinya sudah cukup puas dengan menjadi semacam “taman kota” yang hanya digunakan oleh penduduk sekitarnya.
Itulah duo yang terlupakan dari Kota Tua. Walaupun pesonanya redup, namun selamanya akan tetap bercerita kisah-kisah tua yang abadi. JakartaYuk mengajak para pembaca sekalian untuk mengunjungi tempat-tempat yang “terlupakan” seperti ini dan turut memberitakannya ke orang-orang terdekat. Kenal maka sayang, sayang maka jaga. Jaga bersama maka lebih lama ada! 😉
Catatan;
Transportasi—————————
Koridor 12 (Pluit – Tj. Priok) – Halte Kali Besar Barat
Transit:
– Halte Penjaringan, apabila dari arah koridor 9 (Pluit – Pinang Ranti)
– Halte Kota, apabila dari arah koridor 1 (Blok M – Kota)
– Halte Jembatan Merah, apabila dari arah koridor 5 (Ancol – Kampung Melayu)
– Halte Sunter Kelapa Gading, apabila dari arah koridor 10 (Tj. Priok – PGC)